Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk
sosial. Makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Makhluk yang senantiasa
selalu membutuhkan makhluk yang lainnya. Maka seyogyanya manusia harus
saling mengasihi dan menyayangi, saling mengisi antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam salah satu ayatnya " Bertolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan keji".
Silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi
diajarkan PRABU SILIWANGI yang kini menjadi Falsafah Masyarakat Jawa
Barat, merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai sifat RAHMAN dan
RAHIM ALLAH SWT.
Silih asah diartikan saling mengasah, saling mempertajam agar lebih berdaya guna dalam kehidupan, saling mendalami makna. Silih asih diartikan saling mengasihi antar sesama. Silih asuh dimaknai saling menjaga dan silih wawangi dimaknai saling memberikan hal yang positif.
Manakala
nilai-nilai tersebut di atas, sudah terpatri dalam diri maka semangat
berbagi akan lahir dengan sendirinya. Berbagi dengan harta, tenaga,
pikiran atau ilmu. Ketika manusia sudah bisa berbagi maka dia telah
menjadi manusia yang berguna. Dan kita maklumi bersama bahwa dalam
sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda " Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia yang lainnya ".
Semoga kita digolongkan menjadi manusia yang berhasil guna dan berdaya guna bagi manusia yang lainnya.
Amin.Y.r.a
Ormas Independen Paku Padjadjaran I DPC Kabupaten Subang
Jumat, 10 Oktober 2014
Senin, 06 Oktober 2014
Sejarah Kesenian Sisingaan Asal Subang
Sejarah Kesenian Sisingaan Subang
Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau
identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang,
yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu
dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah
perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat
Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai
diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota
kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah
kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian,
yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai
oleh Inggris.
Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis,
ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun
masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan
tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang
diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung
silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan),
sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka
(kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti
atau makna). Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau
mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran,
perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu.
Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan
menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama
sisingaan.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan,
ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada
pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut
digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum
penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas
masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin,
sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa
bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati
kehidupan yang sejahtera.
Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang
pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan,
waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofis 4 orang
pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi/terjajah/tertindas,
sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan
Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang
nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat
yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi
motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta
mengusir penjajah dari daerah mereka.
Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu,
sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai
sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan
kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir,
tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian
sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk
kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan
merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan,
sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan
anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan
menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak
yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah
bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.
Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat
sekarang ini, cikal bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut
dengan singa abrug karena patung singa ini dimainkan dengan cara
diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa abrug tersebut
digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk
pertama kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.
Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat
sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang
ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau
daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari
carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan
karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau
kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa
dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan
secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.
Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat
musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro),
namun kemudian berkembang seperti saat ini.
Adapun peralatan musik
tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain
lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain.
Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung.
Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang
disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.
Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat
itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara
mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat
sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan
gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan
keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat
pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong
sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung
sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti
masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat
golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain
baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an,
busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian,
seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup
baik.
Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat
dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan
pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan
sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat
sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian
sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat
yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.
Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure
ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau
kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang
indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil),
bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada
perubahan yang cukup besar dan mendasar.
Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran
pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering
ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T
Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum
terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.
Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan
mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan
inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian
sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada
koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri
atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.
Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah,
hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan
Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan
Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah
odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa,
singa depok.
Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari
tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar
tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan
sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah
melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan,
kebodohan, serta kemiskinan.
Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat
penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani
tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan,
difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu
kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman
mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.
Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971
saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung
kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana
Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi
duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun
1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk
mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara
rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat
ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang,
namun sudah menjadi milik nasional.
Fungsi Sisingaan
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana
hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling
kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang
beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan
jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit
yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara
eksklusif berdasarkan permintaan.
Pertunjukan atau Penyajian Sisingaan
Secara geografis Kabupaten terbagi menjadi tiga kondisi wilayah yakni wilayah pegunungan (tonggoh), wilayah dataran rendah (tengah), dan wilayah pantai (hilir). Secara mendasar letak geografis tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kesenian sisingaan. Hal ini dapat dilihat pada penampilan sisingaan dari tiga daerah tersebut, sisingaan dari daerah pegunungan (tonggoh) dan wilayah dataran (tengah) banyak memiliki kesamaan baik unsur tari, unsur waditra, maupun patung sisingaannya. Namun kalau memperhatikan sisingaan hilir, ketiga unsur tersebut sudah banyak mengalami perubahan. Hal tersebut karena adanya pengaruh masyarakat yang sudah majemuk, sehingga pola pikir masyarakat pesisir lebih terbuka dalam menerima masuknya kebudayaan luar.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ekspresi jiwa masyarakat yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis alam, hasrat, dan emosi. Hal
tersebut berkaitan erat dengan unsur sisingaan yang terdiri dari unsur
tari (koreografi), unsur waditra (karawitan), dan sinden (juru kawih),
serta unsur seni rupa dan busana pengusung.
Unsur Tari
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:
1. Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali
dilakukan untuk mengangkat anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak
tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan antara lain, pasang yaitu
bersiap dan memasang kuda-kuda pada saat sisingaan berada di pundak.
Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari. Najong,
yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak
tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan
mengunci.
Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan.
Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan
memiringkan badan ke kanan dan ke kiri. Ewag, yakni menyanyikan lagu
kidung yang diikuti dengan gerak tarian. Mincid, yakni gerakan
memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala.
Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan
tendangan. Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara
gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.
2. Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang
dilakukan dengan cara berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang
telah ditentukan. Dalam kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu
unsur yang harus dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan.
Pada saat helaran para pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga
kekompakan, saling memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung
lainnya.
Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu
melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik.
Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi
dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama
musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke
depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni
gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni
berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni
berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.
Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak
jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal.
Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki
ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih
mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.
Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai
dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat
menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak
tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat.
Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok,
yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag
luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari
dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan
irama musik bertempo sedang.
Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan
sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang
dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos.
Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan
menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.
Bukaan jaipong, yakni
memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat
lebih variatif dan atraktif.
Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari
mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi
yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan,
gugunungan, melak cau, dan sebagainya.
Unsur Waditra (karawitan) dan Sinden (Juru Kawih)
Unsur waditra atau karawitan yang digunakan dalam sisingaan semakin berkembang, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik. Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.
Waditra yang dipergunakan antara lain:
1. Satu buah gendang indung yang berfungsi untuk memberikan tekanan irama musik.
2. Satu buah gendang kemprang yang berfungsi untuk mengatur irama musik.
3. Dua buah kulanter yang berfungsi untuk mengatur tempo dan satu lagi dipukul diakhir kenongan.
4. Satu buah goong yang berfungsi untuk mengakhiri wiletan.
5. Satu buah kempul yang berfungsi untuk mengisi irama.
6. Tiga buah bonang atau ketuk yang berfungsi untuk mengisi ketukan.
7. Satu buah terompet yang berfungsi sebagai melodi dan mewakili lagu.
8. Satu buah kecrek berfungsi untuk mempertegas tekanan irama.
Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan
musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan
standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi
yang membawakan lagu dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang
perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan
antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah
kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen,
kulu-kulu sadunya, gondang.
Unsur Seni Rupa dan Busana Pengusung
Unsur seni rupa yang terdapat pada sisingaan semakin hari semakin
berkembang, ke arah yang lebih baik, baik dari ukuran maupun bentuknya.
Misalnya dalam hal bentuk muka sisingaan, sudah semakin mirip dengan
bentuk singa asli, karena bagian muka tersebut dibalut atau ditempel
dengan bahan berbulu. Mimik muka juga dibikin semirip mungkin, dengan
mulut terbuka seperti singa hendak menerkam mangsa, dengan
memperlihatkan taringnya yang tajam. Pewarnaan menggunakan cat juga
semakin cemerlang dan menarik.
Sedangkan rambut sisingaan terbuat dari bahan yang mirip dengan bulu
singa, baik warna maupun jenis bahannya. Begitu juga dengan badan
sisingaan yang sudah menggunakan bahan yang ringan dan kuat serta
berbulu seperti singa. Posisi kaki juga sangat bervariasi ada yang
seperti berjalan, berdiri biasa, dan ada yang seperti mau menerjang.
Selain itu perubahan juga pada pakaian pengusung dan penabuh alat
karawitan. Pada masa lalu busana pemain sangat sederhana, dan tidak
seragam. sementara saat ini pakaian sudah diperhitungkan nilai
estetisnya, seperti pada baju kampret, celana pangsi, iket, ikat
pinggang, sepatu, kaos kaki.
Sumber : (BPSNT Bandung)
Diposkan oleh BUDIANA di 07.09 , Tanggal Pengambilan 2 November 2010.
================================================
KESIMPULAN
Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau
identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang,
yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu
dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah
perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat
Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai
diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota
kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah
kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian,
yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai
oleh Inggris.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami
perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan,
waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa
kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan
menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana
hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara keliling kampung. Namun
pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara
lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas
sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil
memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif
berdasarkan permintaan.
Tradisi SISINGAAN ini skrg biasa di pakai sebagai hajatan seorang
anak sehabis di khitan. Sebagai tanda kalau anak itu telah memasuki ke
tingkat Dewasa. Anak yang habis di khitan tersebut, biasanya menaiki
sisingaan tersebut. Kemudian sisingaan tersebut di angkat atau di gotong
oleh 4 orang dewasa. Lalu anak tersebut di gotong memakai sisingaan
tersebut mengelilingi kampung dengan di iringi musik-musik tradisional
khas sunda. Tradisi sisingaan ini masih ada di daerah Jawa Barat,
terutama di daerah Subang.
Adapun peralatan musik tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
==================================================
LESTARIKAN SEJARAH DAN BUDAYA BANGSA
Penelusuran Sejarah Kerajaan Padjadjaran
Kerajaan ini merupakan penerus “resmi” dari Kerajaan Sunda, dengan lambang kerajaannya yaitu Harimau Putih.
Menurut laporan perjalanan Tome Pires
(1513), masyarakat sehari-harinya menyebut ibukota kerajaan ini dengan
sebutan “dayo” (dayeuh) seperti yang ia dengar dari masyarakat di Sunda
Kalapa. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat resmi dan kesusastraan
biasanya ibukota ini disebut dengan nama Pakuan. Arti dari Pakuan
Pajajaran itu sendiri bisa diartikan dalam berbagai versi, seperti
menurut pendapat para ahli berikut ini yang dikutip dari Saleh Danasasmita (1983) dalam bukunya Sejarah Bogor (Bagian I):
Menurut Naskah Sunda Kuno Carita Waruga Guru (1750-an) :
Di lokasi kerajaan banyak terdapat banyak pohon Pakujajar.
Menurut K.F. Holle (1869) dalam "De Batoe Toelis te Buitenzorg" :
Di
dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku (beserta sungai yang
memeiliki nama yang sama). Di sana banyak ditemukan pohon Paku. Jadi
nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan Pohon Paku. Pakuan
Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe
bomen").
Menurut G.P. Rouffaer, dalam "Encyclopedie van Niederlandsch Indie" edisi Stibbe tahun 1919 :
Pakuan
mengandung pengertian "Paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
("spijker der wereld") yang melambangkan pribadi raja. "Pakuan" menurut
Rouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan" ("evenknie"). Yang dimaksudkan
Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit.
Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari
uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya
berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja)
Majapahit”
Menurut R. Ng. Poerbatjaraka (1921) dalam "De Batoe-Toelis bij Buitenzorg" (Batutulis dekat Bogor) :
Kata
"Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian
dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam
lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan"
berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran berarti "istana yang
berjajar ("aanrijen staande hoven").
Menurut H. Ten Dam (1957) dalam "Verkenningen Rondom Pajajaran" (Pengenalan sekitar Pajajaran) :
Pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang
di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia berpendapat
bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti
ibukota ("hoffstad") yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran"
ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ditarik kesimpulan bahwa
nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan
Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran adalah Pakuan di
Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Menurut Naskah "Carita Parahiyangan" :
Sang
Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata
“Sang
Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata”.
Lokasi
pusat dari Pajajaran terletak antara Sungai Besar dengan Sungai
Tangerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane) yang sejajar. Lokasi
Pakuan merupakan lahan dataran tinggi yang satu sisinya terbuka
menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku
merupakan pelindung alamiah.
Penggambaran kebesaran Kerajaan Pajajaran itu terlihat dari laporan perjalanan Abraham Van Reibeeck
(tentara kompeni yang melakukan ekspedisi ke reruntuhan Istana Pakuan).
Dia melintasi sebuah anak sungai yang arusnya tenang mengalir ke
Cisadane, lalu melewati parit dalam, setengah jam perjalanan dari sungai
tadi, mencapai tanggul atau jalan sempit mendaki dari dataran atas
Pakuan. Pada kedua tepinya diapit oleh parit yang dalam dan mengerikan,
dan dari benteng yang tinggi, di sanalah pernah berada Istana Pakuan.
Diperkirakan ada 5 bangunan keraton (panca persada).
yang terdapat di ibukota kerajaan ini, masing-masing bernama: Sri Bima,
Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Suradipati merupakan keraton
induk dari keraton-keraton tersebut. Keraton tersebut dikelilingi 330
pilar yang tingginya kira-kira 9 meter dengan ukiran indah di puncaknya.
Nama-nama
keraton besar lainnya yang terdapat di luar kota Pakuan tetapi masih
merupakan wilayah kekuasaan dari Pajajaran adalah Surawisesa (Kawali),
Surasowan (Banten) dan Surakarta (Jayakarta / sebutan untuk Jakarta pada
masa silam). Keraton-keraton yang berada di luar Pakuan, diserahkan
pengurusannya pada kerajaan daerah di wilayah itu.
Kota
Pakuan (sekarang bernama Bogor) dulu berpenghuni sekitar 48.271 jiwa,
untuk jamannya merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak
(berpenduduk 49.197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak dari
penduduk Pasai (23.121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.
Tome
Pires dari Portugis mencatat (saat berkunjung ke Pakuan), bahwa
Kerajaan (Sunda) Pajajaran adalah negeri kesatria dan pahlawan laut.
Sebutan tersebut dikarenakan para pelaut dari kerajaan Pajajaran telah
mampu berlayar ke berbagai negara, sampai ke kepulauan Maladewa. Selain
itu, Tome Pires juga menyimpulkan tentang prilaku orang Pajajaran di
saat itu adalah menarik, kekar-tinggi, dan jujur. Beliau juga mengatakan
di Ibu kota (Pakuan) tersusun rapi rumah-rumah yang indah terbuat dari
kayu dan palem. Rumah disana biasanya berukuran besar.
Masa itu struktur arsitektural kampung sudah baku, unsur-unsur terpenting kampung adalah rumah adat (bumi ageung), rumah keluarga, bangunan penyimpanan dan pengolahan padi kolektif (leuit dan saung lisung).
Mungkin masih ada bangunan-bangunan lain seperti rumah huma, bangunan
penjagaan dan lain-lain, tetapi bukan merupakan unsur yang tipikal.
Orientasi bangunan masih mentaati sisa-sisa pemujaan kesuburan dengan
mengutamakan arahan-arahan Timur-Barat.
Kerajaan
Pajajaran merupakan kerajaan besar yang memiliki wilayah jajahan yang
sangat luas. Wilayahnya, apabila dipetakan sekarang meliputi 15
kabupaten, 11 kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten sekarang, serta
empat lagi diantaranya kabupaten di Jawa Tengah (Kabupaten Banyumas,
Cilacap, Tegal, dan Brebes). Di bentangan luas wilayah tersebut
terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi jajahan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan kecil tersebut diperkenankan mengelola seluruh hasil
bumi dan kegiatan perekonomiannya.
Agama
resmi yang dianut di Kerajaan Pajajaran adalah agama Hindu, tetapi
sebenarnya saat itu agama leluhur sudah mulai kembali mendesak
keberadaan agama Hindu. Keadaan tersebut membuat pemuka Hindu saat itu
harus “kompromi” dengan ajaran leluhur. Salah satu bentuk kompromi
tersebut adalah dengan diposisikannya Batara Seda Niskala di atas dewa-dewa Hindu. Batara Seda Niskala adalah sebutan lain untuk Hiyang,
yaitu dewa tertinggi pada ajaran leluhur yang menciptakan, menguasai,
dan menentukan kehidupan manusia dan kehidupan alam pada umumnya. Dia
berada di luar alam kehidupan manusia, yaitu bersemayam di Kahiyangan.
Sifat-sifat Hiyang tercermin dalam julukan-Nya, antara lain Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Sanghiyang Keresa (Yang Kuasa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam Semesta). Mereka pun membuat ajaran keyakinan, tata cara peribadatan kepada Hiyang,
dan etika hidup keagamaan mereka sendiri. Ajaran keyakinan, tata cara
peribadatan, dan etika hidup keagamaan mereka dinamai agama Jatisunda. Para penduduk yang tidak puas terhadap ajaran agama Hindu dan Budha, maka muncullah agama Jatisunda sebagai jalan keluarnya.
Cita-cita
tertinggi umat beragama di Pajajaran adalah ingin bertemu dengan Hiyang
(bukan dewa). Bertemunya dengan Hiyang tersebut dipercaya setelah
seseorang meninggal, saat tubuh (wujud kasar) telah berubah menjadi
sukma (wujud halus). Untuk mempercepat proses dari tubuh menjadi sukma
maka dilakukan proses kremasi (pembakaran jenazah).
Pada
perkembangannya, agama Hindu, Budha, dan Jatisunda kemudian terdesak
oleh ajaran agama Islam yang mulai giat disebarkan oleh para ulama.
Proses Islamisasi di tanah Sunda pada umumnya berjalan secara damai,
kecuali untuk daerah-daerah Rajagaluh, Talaga (Majalengka), Pakuan
(Bogor), dan Gunung Karang (Banten). Masa awal Islamisasi di tanah Sunda
diawali oleh kegiatan perguruan agama Islam di bawah asuhan ulama
pendatang, seperti Syekh Hasanudin di Karawang dan Syekh Datuk Kahfi. Kemudian beberapa waktu kemudian dilanjutkan oleh syi’ar dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Sultan Hasanuddin di Banten, Syekh Abdulmuhyi di Pamijahan (Tasikmalaya), Syekh Arif di Cangkuang (Garut), Sunan Godog di Suci (Garut), Sunan Cikadueun di Pandeglang, dan Aria Wangsagoparana di Sagalaherang (Subang).
Proses
Hinduisasi di tanah Sunda (juga di Indonesia umumnya), bermula dari
kalangan atas atau elite (keraton), tetapi sebaliknya proses Islamisasi
bermula dari kalangan bawah atau rakyat biasa. Oleh karena itu, penganut
agama Hindu dan Budha serta agama Jatisunda di kalangan bawah secara
massal beralih agama menjadi penganut Islam. Beberapa persamaan prinsip
antara agama nenek moyang (Jatisunda) dengan Islam, merupakan faktor
pendorong bagi perkembangan agama Islam menjadi begitu pesat. Orang
Sunda masa pra-Islam menemukan Hiyang sebagai Tuhan mereka. Ternyata rumusan dan sifat-sifat Hiyang
itu, memiliki beberapa persamaan makna dan gambaran dengan rumusan
makna dan gambaran Allah dalam ajaran agama Islam, yang berbeda
menyangkut istilah-istilahnya semata. Yang paling prinsipil ialah
keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan hanya satu. Dalam ajaran Jatisunda,
hal itu disifatkan dengan sebutan Batara Tunggal dan dalam ajaran agama
Islam dirumuskan dalam ungkapan Allahu Ahad, Tuhan Yang Maha Esa.
Di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahunnya. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan raja-raja daerah. Upacara Gurubumi dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari dan kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti
pada malam bulan purnama. Raja-raja daerah harus datang dengan membawa
barang antaran, ikut serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu).
Biasanya dalam upacara ini diadakan semacam permainan berburu binatang
di hutan yang dilakukan oleh para pembesar Kerajaan termasuk raja.
Upacara Gurubumi yang di adakan 49 hari setelah panen dimaksudkan agar
raja-raja daerah berkesempatan mengadakan upacara penutupan panen di
daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke ibukota Pakuan.
Dalam Kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun.
Sedangkan menurut Kropak 630 dijelaskan, urutan pajak yang ada di Pajajaran adalah adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma.
Dasa adalah sistem kerja perorangan, Calagra berarti semacam kerja bakti, Upeti adalah semacam pajak daerah, sedangkan Panggeureus Reuma adalah hasil cuma-cuma tanpa usaha (hasil lebih) dari bekas ladang (padi yang tumbuh terlambat (turiang)
di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani
membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat / tohaan). Panggeureus Reuma atau juga dinamakan pare dongdang
(disebut seperti itu karena padi yang dibawa dengan cara digotong
hingga berayun / dongdang) inilah yang dikategorikan sebagai barang
antaran untuk Pakuan setiap upacara Gurubumi dan Kuwerabakti.
Pajak
secara pemberian materi tidak dikenakan kepada rakyat secara
perorangan, melainkan hanya kepada penguasa setempat. Sedangkan pajak
yang dikenakan pada rakyat hanyalah pajak dalam bentuk tenaga dalam
bentuk "dasa" dan "calagra". Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagra.
Pada
saat itu, Pajajaran termasuk salah satu kerajaan besar yang ada di
Nusantara, dimana kerajaan ini memiliki jaringan sarana transportasi
darat yang menghubungkan negeri-negeri di Jawa Barat (jalan raya untuk
dilalui pedati yang merupakan kendaraan paling besar di zaman itu). Saat
ini, sisa peninggalan jalan raya dari kerajaan ini masih bisa kita
lihat di daerah Karangkamulyan, Ciamis walaupun tinggal tersisa beberapa
meter saja.
Untuk
jaringan transportasi laut, Pajajaran memiliki beberapa pelabuhan
penting yang bertindak sebagai pelabuhan internasional. Salah satu
pelabuhan yang cukup terkenal adalah Pelabuhan Kalapa (oleh orang asing
akhirnya disebut dengan Sunda Kelapa). Pelabuhan Kalapa ini merupakan
pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran. Pelabuhan Kalapa ramai dikunjungi
kapal-kapal dari Sriwijaya, Tanjung Pura, Malaka dan bahkan kapal-kapal
dagang dari India, Tiongkok Selatan dan Kepulauan Ryuku.
Sedangkan pelabuhan-pelabuhannya yang lain antara lain, masih digunakan
hingga masa VOC, yaitu antara lain Pontang, Cibanten (keduanya berada di
wilayah Banten), Cigede, Muara Jati (Cirebon), Tamgara (Muara
Cisadane), Muara Citarum (ujung Karawang), dan Muara Cimanuk.
Tome Pires mencatat, komoditi perdagangan yang dilakukan oleh Kerajaan
Pajajaran adalah beras (mencapai 10 jung/tahun), sayuran, daging, asam
(bisa hingga 1.000 kapal), dan lada (1.000 bahar/tahun). Sementara itu
Pajajaran juga sudah mampu mengekspor kain tenun ke Malaka.
Kerajaan
Pajajaran, memiliki senjata khas yang biasa digunakan baik untuk
berperang, kepentingan sehari-hari, maupun sebagai barang pusaka
kerajaan. Senjata ini disebut Kujang, dan hanya digunakan oleh kelompok
tertentu seperti para Raja, Prabu Anom (Putra Mahkota), golongan
Pangiwa, golongan Panengen, golongan Agama, para Putri dan Kokolot.
Setiap golongan ini memiliki kujang yang berbeda-beda bentuk dan
jenisnya, tentunya hal ini disesuaikan pada strata dalam kerajaan maupun
keperluannya.
Kujang memiliki beberapa bentuk seperti Kujang Ciung (bentuknya menyerupai burung ciung), Kujang Jago (bentuknya menyerupai ayam jago), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul), Kujang Bangkong (bentuknya seperti bangkong), Kujang Naga (bentuknya menyerupai naga), Kujang Badak (bentuknya dianggap seperti badak), dan Kudi (suatu alat perkakas sejenis kujang).
Kujang
juga memiliki fungsi sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja
atau pejabat kerajaan), pakarang (senjata untuk perang), Pangarak
(kujang bertangkai panjang menyerupai tombak sebagai alat upacara), dan
Kujang Pamangkas (digunakan sebagai alat pertanian).
Adapun wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian seperti Papatuk atau congo (bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian kujang gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata (lubang-lubang
kecil yang terdapat pada bilahan Kujang ada yang jumlahnya 9 dan
minimal 5 lubang atau tanpa lubang sama sekali dan ini disebut “kujang
buta”, Pamor (garis-garis atau bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul konon mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang), Tonggong (sisi yang tajam di bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut Kujang), Tadah (lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor Kujang yang lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang), Combong (lubang pada gagang Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang), Kowak (nama khas sarung Kujang).
Sumber hukum dari Kerajaan Pajajaran adalah Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian dan Séwaka Darma
yang merupakan ajaran berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para
leluhur serta disampaikan secara lisan dan tulisan (menggunakan daun
lontar, nipah, enau, kelapa, serta peso pangot, kalam, dan tinta sebagai
alat tulisnya) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian aslinya ditulis pada bulan 3 tahun 1440 Saka (tahun 1518 Masehi). Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
terdaftar sebagai MSB (Manuscript Soenda B) dengan nomor kropak 630
pada Museum Nasional di Jakarta hasil sumbangan dari pemilik lamanya,
yaitu R. Saleh. Dari kedua naskah tersebut tampak bahwa Bahasa Sunda
(Kuno) telah digunakan di Kerajaan Pajajaran. Bahasa tersebut terlihat
banyak dimasuki oleh kosakata dan pengaruh dari struktur Bahasa
Sanskerta (India).
Kerajaan
Sunda menempatkan hukum-hukum tersebut pada kedudukan sangat penting
dan memandangnya sebagai faktor yang menentukan maju mundurnya keadaan
negara dan masyarakat. Orang-orang yang ingat kepada Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian,
berpegang teguh kepada ajaran mereka yang lebih tua, mengetahui
peraturan, mengukuhkan kata-kata sentosa dikatakan sebagai manusia yang
muncul dari kesucian tanah atau nirmala ning lemah.
Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian membicarakan perbuatan-perbuatan manusia yang salah, yaitu catur buta (empat hal yang mengerikan), antara lain burangkak, marende, mariris dan wirang. Orang yang semasa hidupnya berkelakuan burangkak,
yaitu ketus, tak mau menyapa sesamanya, bicara sambil marah dan
membentak, bicara sambil membelalak, bicara kasar dengan nada menghina,
buruk kelakuan, berhati panas diibaratkan sebagai raksaksa durgi durga kala (buta / mahluk-mahluk yang menghuni mala ning lemah).
Salah satu ajaran dari Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian tertulis dalam bentuk prosa pada Kropak 630 di bawah ini :
Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu
“Hendaknya
kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang
haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan.
Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa”.
Kemudian, beberapa petuah lain yang tertulis dalam Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian adalah :
Eta
kehna kanyahokeuneun, di tuhuna di yogyana, aya ma nu majar mo nyaho,
eta nu mo satya di guna di maneh, mo teuing di carek dewata urang. Tan
awurung inanti dening kawah, lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo
dipitwah, sahinga ning guna kreta, kena itu tangtu hyang tangtu dewata.
“Itu
semua yang patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang
mengatakan tidak perlu tahu, itulah yang tidak akan setia kepada
keahlian dirinya; mengabaikan ajaran leluhur kita, pasti ditunggu oleh
neraka; bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi
untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan, karena semua itu ketentuan
dari hyang dan dewata”.
Lembar XXII: baris 533 sampai dengan 537 dalam Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, menjelaskan mengenai aturan-aturan dalam lokasi terlarang yang tidak layak dihuni manusia :
Mala
ning lemah ngara(n)na: sodong, sarongge, cadas gantung, mu(ng)kal
pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nu(ng)gang, catang
nonggeng, garunggungan garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan,
hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalo(m)beran, jaryan, sema;
sawatek lemah kasingsal.
“ Yang
disebut kotoran bumi ialah ceruk (lobang dangkal pada sisi bawah tebing
karang atau tepi sungai), tempat angker dihuni roh jahat, cadas
bergantung, sebidang lahan yang dikelilingi bongkahan karang atau
gundukan batuan di sekelilingnya, ngarai, batu besar bercelah, kubangan,
batang kayu roboh dengan bongkot sebelah bawah, batang kayu roboh
dengan bongkot di atas, tanah membukit kecil, tanah yang kering
permukaannya tetapi dibawahnya berlumpur, tanah panas / sangar (tempat
bekas terjadinya pembunuhan atau pertumpahan darah), dandang berair,
sarang semut / sarang rayap, tanah berbentuk dinding curam, tempat babi,
comberan, tempat pembuangan sampah, kuburan”
Sedangkan salah satu ajaran dari Séwaka Darma (abad ke-16) tertulis dalam bentuk puisi pada Kropak 408 di bawah ini :
Ini
kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma,
ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma
“Inilah
Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya
penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang
siswa, yang paham Sewaka Darma”.
Sebelum membahas
mengenai Raja-Raja yang berkuasa di Pajajaran secara berurutan,
terlebih dahulu saya akan menceritakan sekilas kehidupan Prabu
Jayadewata (Prabu Siliwangi) sebelum menjabat sebagai Raja Pajajaran
yang pertama.
Jayadewata
dilahirkan di Keraton Surawisesa, Kawali pada tahun 1401. Kakeknya
(Prabu Anggalarang / Raja Sunda ke-33) memberi nama Pamanahrasa, sedangkan ayahnya (Dewa Niskala / Raja Galuh) memberi nama Jayadewata. Masa kecilnya, Jayadewata banyak menimba ilmu dari kakeknya.
Pada saat ayahnya berkuasa di Kerajaan Galuh, Jayadewata diangkat sebagai Putera Mahkota / Prabu Anom di Kerajaan Galuh.
Saat
menginjak usia muda, Jayadewata kemudian berkelana seperti yang pernah
dilakukan kakeknya di waktu muda. Jayadewata pergi mengembara ke arah
utara menuju Kerajaan Surantaka yang saat itu dipimpin oleh pamannya yang bernama Ki Gedeng Sindangkasih.
Di kerajaan itu, Jayadewata bekerja dengan tekun tanpa merasa dirinya
sebagai putera mahkota Galuh. Disanalah Jayadewata bertemu dengan puteri
Ki Gedeng Sindangkasih yang bernama Nyi Ambetkasih yang akhirnya dinikahinya. Dari pernikahannya dengan Nyi Ambetkasih, Jayadewata tidak dikaruniai anak.
Karena Jayadewata selalu haus akan ilmu dan pengalaman, Jayadewata kembali mengembara ke arah utara menuju Kerajaan Sing Apura
yang saat itu dipimpin oleh pamannya yang lain bernama Ki Gedeng Tapa.
Di sana, Jayadewata banyak mengamati tingkah laku dan kehidupan
sehari-hari penduduk Kerajaan Sing Apura. Saat itu beliau menyamar
sebagai pengelana dengan nama samaran Keukeumbingan Rajasunu,
karena tidak ingin diperlakukan istimewa. Suatu hari di Kerajaan Sing
Apura diadakan sayembara (dengan cara tarung satria) untuk memperebutkan
puteri sang raja yang cantik. Puteri itu bernama Subanglarang
(lahir tahun 1404), seorang wanita muslim yang pernah menimba ilmu di
Pesantren Quro, Pura Dalem Karawang selama 2 tahun (1418 - 1420).
Masih
dengan memakai nama samaran, Jayadewata kemudian ikut dalam sayembara
itu, disitu beliau banyak mengalahkan saingan-saingannya. Sebagai satria
pemberani dan tangkas, Jayadewata maju ke babak terakhir menghadapi Ratu Japura / Prabu Amuk Marugul
(putera dari Prabu Susuktunggal / raja Sunda ke-34). Akhirnya,
Jayadewata menjadi orang satu-satunya yang mampu mengalahkan kesaktian
Amuk Marugul. Setelah berhasil memenangkan sayembara itu, akhirnya pada
tahun 1422, Jayadewata menikahi Subanglarang yang saat itu berusia 18
tahun. Diperkirakan pada saat pernikahan, Subanglarang beragama Islam,
sedangkan Jayadewata tetap memeluk agama Hindu. Setelah menikah,
Jayadewata diangkat sebagai Putera Mahkota Kerajaan Sing Apura.
Tidak jelas apakah setelah menikahi Subanglarang atau sebelumnya, yang pasti Prabu Jayadewata sempat menikah dengan Nyai Acih Putih.
Puteri ini merupakan anak dari Ki Dampu Awang (Duta Cina untuk urusan
perdagangan yang menetap di Kerajaan Sing Apura, setelah datang dengan
rombongan Laksamana Cheng Ho di tahun 1416). Dari pernikahannya ini,
Prabu Jayadewata dikaruniai seorang putri bernama Nyai Rara Budaya.
Sementara
itu dikarenakan perebutan hak pengaturan Pelabuhan Japura yang saat itu
ramai, maka di tahun 1422 terjadi pertempuran antara Kerajaan Sing
Apura dengan Kerajaan Japura. Prabu Jayadewata yang telah menjabat
sebagai Prabu Anom di Kerajaan Sing Apura, turun langsung ke medan
pertempuran sebagai panglima perang. Pertempuran tersebut kembali
mempertemukan antara 2 orang ksatria yang cukup tangguh yaitu Prabu
Jayadewata dengan Prabu Amuk Marugul (Raja Japura yang juga turun
langsung memimpin pasukannya). Sengitnya pertempuran tersebut akhirnya
lagi-lagi dimenangkan oleh Prabu Jayadewata, sehingga mulai saat itu
Kerajaan Japura berakhir riwayatnya setelah Kerajaan Sing Apura
mengambil alih wilayahnya.
Amuk
Marugul yang merasa penasaran terhadap orang yang selalu
mengalahkannya, kemudian mendatangi Jayadewata dan menanyakan jati
dirinya. Akhirnya Jayadewata membuka identitas yang sebenarnya. Setelah
mengetahui bahwa orang tersebut bernama Jayadewata yang berarti
saudaranya, maka Amuk Marugul mengundang Jayadewata ke Pakuan untuk
dikenalkan dengan orang tuanya (Haliwungan, yang berarti masih uwak dari
Jayadewata).
Di Pakuan, Jayadewata disambut hangat oleh Haliwungan
(kemungkinan saat itu Haliwungan masih menjabat sebagai raja daerah atau
belum dinobatkan sebagai Raja Sunda ke-34), dan kemudian Jayadewata
dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda (adik dari Amuk
Marugul). Karena kecakapan dan kepiawaian Prabu Jayadewata melebihi
Prabu Amuk Marugul, maka Haliwungan menunjuk Jayadewata sebagai Putera
Mahkota / Prabu Anom dari mulai Pakuan sebagai Kerajaan daerah bawahan
Sunda, hingga menjadi pusat Kerajaan Sunda. Setelah Prabu Jayadewata
menikahi Kentring Manik Mayang Sunda, Jayadewata akhirnya menghentikan
pengembaraannya dan menetap di Pakuan untuk membantu tugas sehari-hari
dari mertuanya.
Dari pernikahannya dengan Subanglarang, Jayadewata memperoleh 3 orang anak, mereka itu adalah :
1. Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), lahir tahun1423.
2. Nyai Larasantang, lahir tahun 1426
3. Rajasangara. (Kiansantang), lahir tahun 1428
Setelah Subanglarang meninggal pada tahun 1441 dalam usia 37 tahun, setahun kemudian Raden Walangsungsang serta Nyai Larasantang meninggalkan Istana Pajajaran di Pakuan dan memilih menetap di Cirebon untuk tinggal bersama kakeknya (Ki Gedeng Tapa / raja Sing Apura), sebelum
akhirnya mereka memeluk agama Islam bermazhab Hanafi, mengikuti agama
ibunya. Sedangkan Rajasengara kemungkinan besar tidak diizinkan oleh
ayahnya untuk ikut menetap berasama kakeknya.
Sedangkan
dari pernikahannya dengan Kentring Manik Mayang Sunda (puteri ini
dijadikan permaisuri yang resmi), Sri Baduga Maharaja memiliki putera
yang bernama Surawisesa (kelak menjadi penerus Pajajaran) dan Surasowan (kelak menjadi raja Kerajaan Banten Pasisir).
Dari pernikahan-pernikahannya itu, maka Jayadewata
merupakan orang yang menjabat sebagai Putera Mahkota di 2 kerajaan (Sing
Apura – Sunda), ditambah dengan Putera Mahkota Galuh (yang diterimanya
berdasarkan statusnya sebagai putera sulung raja Galuh) maka status
beliau adalah Putera Mahkota di 3 kerajaan sekaligus. Sedangkan tahta
kerajaan Surantaka (hasil pernikahannya dengan Nyi Ambet Kasih) tidak
dihitung karena saat itu Kerajaan Surantaka telah dilebur menjadi satu
dengan Kerajaan Sing Apura.
Setelah beberapa tahun menjabat sebagai Prabu Anom, Prabu Jayadewata kemudian menikah lagi dengan Ratu Istri Rajamantri (Putri Prabu Gajah Agung dari Kerajaan Geger Hanjuang).
Karena hal ini dan tentunya juga karena kecakapan
Jayadewata, akhirnya ketika terjadi perselisihan antara kerajaan Galuh
dan Kerajaan Sunda, maka Jayadewata dianggap sebagai jalan tengah
terbaik untuk meneruskan kepemimpinan dari 2 kerajaan tersebut dalam
satu tangan. (lihat Kerajaan Sunda, sub-Haliwungan).
Berikut ini urutan Raja-raja Pajajaran berdasarkan urutan tahun kekuasaannya :
1. PRABU JAYADEWATA (1482 – 1521)
( PRABU SILIWANGI )
Jayadewata
secara resmi diangkat sebagai raja Kerajaan Pajajaran yang bertahta di
Pakuan saat berusia 81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai penguasa Galuh beliau
diberi gelar Ratu Purana Prebu Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dari
beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga Maharaja dikabarkan memiliki 13
orang anak yang rata-rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke
seluruh Tatar Pasundan.
Karena
sepak terjang Jayadewata saat menjadi Prabu Anom maupun setelah menjadi
Raja Pajajaran begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta
dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar setelah era kekuasaan
kakeknya (Prabu Niskala Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda
menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (seperti dalam Kropak 630
sebagai lakon pantun). Melalui bahasa pujangga-pujangga tersebut
Jayadewata digelari Prabu Siliwangi (berasal dari kata “silih”
yang berarti menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar kakeknya
yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang / Prabu Niskala Wastukancana).
Jadi, penggunaan gelar Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan
gelar resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan gelar ini untuk
menunjukkan jati dirinya (seperti yang tertulis pada prasasti-prasasti).
Pemakaian sebutan Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan
kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu (tidak boleh) untuk
menyebut secara langsung nama atau gelar sesungguhnya dari sang raja
yang berkuasa dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta
(ahli sejarah dari Cirebon sekaligus penganggung jawab dari penyusunan
Sejarah Nusantara) mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi,
seperti tulisannya :
"Kawalya
ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa
Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira"
(Hanya
orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama
pribadinya).
Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang sangat terkenal
atau yang selama ini sering diceritakan kemahsyurannya didalam
cerita-cerita sejarah Pajajaran dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa kejayaannya (kretayuga), dimana sosial ekonomi rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang
Maharaja memperkuat sistem pertahanan Pakuan secara spektakuler yaitu
dengan cara memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya sepanjang 3
kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut pertama kali dibuat oleh
Rakeyan Banga). Sedangkan bekas tanah galian dari proyek itu kemudian
dijadikan benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika musuh
menyerang dari luar akan terhambat oleh parit kemudian benteng tanah.
Kemudian
Sang Maharaja membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu
bukit Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut dijadikan
sebagai tempat upacara keagamaan dan menyemayamkan abu jenazah dari
raja-raja tertentu.
Beliau
juga memperkeras jalan dengan batu-batuan tertentu dari keraton hingga
gerbang Pakuan, kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang
lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang Saketeng, sedangkan
gerbang istana belakang dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang Maharaja membuat semacam hutan lindung yang berfungsi sebagai reservoir
alami. Hutan tersebut ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk kepentingan upacara
kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung (Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai tempat pariwisata dan penyuburan tanah.
Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat “kaputren” (tempat isteri-isteri-nya), “kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran),
tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, serta menyusun
Undang-Undang Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada tahun 1518.
Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang bernama Buyut Nyai Dawit, sedangkan ahli pemerintahan dipegang oleh Adipati Pangeran Papak.
Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" atau disebut juga desa perdikan
(desa bebas pajak) di daerah Sunda Sembawa, Gunung Samaya, dan
Jayagiri. Tindakan ini diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus
menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang / Prabu Niskala
Wastukancana). Bahkan amanat tersebut diabadikan dalam prasasti yang
terbuat dari tembaga sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian
ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif / kerja bakti), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dongdang" (padi 1 gotongan).
Selain
di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga Maharaja juga memerintahkan kepada
para petugas muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini
menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka yang selalu berbakti
dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan
peraturan dewa.
Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan), Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan Pamanah (prajurit ahli memanah). Dengan pembagian tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada perang yang tangguh.
Sedangkan
untuk pertahananan di dalam kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu
menekankan kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada kebiasaan dan
keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan dengan baik, maka beliau
meyakini bahwa Pajajaran tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat
menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan
kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran
Pelabuhan Muara Jati sebagai pelabuhan internasional makin berkembang
saat Raden Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang), menetap di
Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon Larang di Cirebon
pesisir. Langkah yang dilakukan Raden Walangsungsang dalam mengelola
Pelabuhan Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa yang
telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan penjaga keamanan untuk
mengamankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai
kerajaan yang memperoleh pendapatan dari hasil niaga, Pajajaran saat
itu merasa cemas dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang
dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden Walangsungsang) dan Demak. Pada
saat itu, armada Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri
Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada Demak dapat mengganggu
jalannya perniagaan Pajajaran. Sekitar abad ke-15 di Nusantara,
Pajajaran dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur perdagangan
sangat ramai.
Demak
yang terkenal kuat dalam angkatan lautnya, saat itu tengah mengalami
beberapa kekalahan dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka.
Berita kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa perlu mengadakan
hubungan kerjasama dengan Portugis.
Seperti
yang kita tahu, Pajajaran merupakan penguasa di Selat Sunda dan
Portugis berkuasa di Selat Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang
menjadi jalan masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara, tentunya
keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat cemerlang. Kerjasama antara
Pajajaran dan Portugis sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur
niaga di Nusantara.
Kerjasama
ini dilakukan bukan maksud menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak membantu Cirebon
melakukan serangan dalam upaya pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya,
Sri Baduga Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden
Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk
memuluskan rencananya, maka Sri Baduga Maharaja mengutus Surawisesa
(putera mahkota Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada
tahun 1512, Surawisesa mengunjungi Malaka dan akhirnya perjanjian
bilateral resmi antara Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan
adalah Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang
oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1513, Pajajaran didatangi oleh duta-duta
dari Portugis dengan menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari
rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap penjajakan.
Kebijakan-kebijakan
dari Prabu Siliwangi itulah yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan
kejayaan Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan motto
hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“. Dengan kebijakan dan
strategi-strategi itu pula, kita dapat mengakui bahwa Prabu Siliwangi
ini adalah seorang raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang
yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran tidak dapat
disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang pada zaman itu seakan
teringat kembali kepada kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu
Maharaja Lingga Buana) yang gugur pada Perang Bubat.
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta
tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh,
baik berupa laskar maupun penyakit batin. Bahagia sejahtera di utara,
selatan, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun
kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat itu tidak serta merta membuat
sang raja merasa tenang, hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan meninggalkan agama lama.
Mereka oleh sang Maharaja disebut "loba" (serakah) karena merasa
tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru. Meskipun
merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja hanya bisa menyindir tanpa
melakukan tindakan “fisik” atau mengeluarkan perintah larangan, karena
beliau menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi setiap
rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap memperlakukan adil bagi
rakyatnya yang telah memeluk agama Islam.
Untuk
lebih mempererat kerjasama dengan Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga
Maharaja kembali menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di Malaka.
Penugasan ini dilakukan beberapa bulan sebelum sang Maharaja wafat.
Sri
Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31 Desember 1521 dalam usia yang
sangat sepuh yaitu 120 tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan
pada puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring Manik Mayang
Sunda).
Ketika
sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri Baduga Maharaja digali kembali
atas perintah dari Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat
untuk dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudian ditaburkan di
Rancamaya, Bogor ( kini sudah dijadikan lapangan golf serta
perumahan mewah). Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian
dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran) untuk dipusarakan
di tempat kabuyutan daerah itu. Karena itulah, maka tidak perlu
heran apabila di beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai tempat
dari makam Prabu Siliwangi.
Sebelum
Rancamaya dikembangkan menjadi kawasan elite (sekitar tahun 1991), di
kawasan Situs Sanghiyang Rancamaya terdapat Talaga Rena Maha Wijaya dan di
puncak bukit kawasan itu juga bisa kita jumpai batu yang bentuknya
menyerupai belalang berdiri dengan tinggi sekitar 40 centimeter. Benda
tersebut ditancapkan di atas bukit punden, dipayungi dedaunan dari
pepohonan yang rindang. Punden yang dinamakan punden berundak Padungkulan
itu diyakini oleh masyarakat setempat sebagai kompleks tempat hiyang
(menghilang ke alam lain) raja-raja Pajajaran dan kerabatnya.
2. PRABU SURAWISESA (1521 – 1535)
Pengganti Prabu Jayadewata adalah Surawisesa. Acara penobatan Surawisesa dihadiri oleh utusan Portugis dari Malaka yaitu Hendrique de Leme
beserta rombongan. De Leme menyerahkan titipan hadiah dari Alfonso
d’Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis / Raja Daerah Portugis di
Malaka) untuk raja baru Pajajaran sebagai tanda persahabatan.
Surawisesa adalah raja yang sangat gagah berani. Bahkan dalam Carita Parahyangan disebut juga sebagai "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia telah melakukan 15 kali pertempuran.
Surawisesa memiliki permaisuri yang cantik bernama Kinawati, puteri itu berasal dari Kerajaan Tanjung Jaya. Kinawati adalah puteri dari Cakralarang
raja Kerajaan Tanjung Jaya. Baik Pakuan maupun Tanjung Jaya, lokasinya
sama-sama terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak
kerajaan kecil bernama Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu
bernama Kaung Pandak). Setelah menikah, Kinawati menjabat sebagai ratu
daerah di Kerajaan Tanjung Jaya. Pelabuhan Kalapa yang berada di wilayah
Kerajaan Tanjung Jaya, sejak beberapa tahun diurus dan menjadi tanggung
jawanb dari Kerajaan Tanjung Jaya.
Pada tahun 1522, Cirebon Larang yang selama ini merupakan wilayah administratif Pajajaran akhirnya lepas dan membentuk Kesultanan Cirebon yang berfahamkan Islam dengan sultannya adalah Syarif Hidayatullah.
Pada
tanggal 21 Agustus 1522, Pajajaran dan Portugis kembali mencapai
kesepakatan dalam kerjasama perdagangan dan keamanan / militer. Naskah
dari perjanjian tersebut dibuat rangkap dua, ditandatangani bersama, dan
masing-masing pihak memegang satu naskah perjanjian.
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di
Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi
muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang
diminta oleh pihak Pajajaran. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun,
pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan barang-barang keperluan Pajajaran sebanyak dua
"costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Setelah
penandatanganan perjanjian tersebut, utusan Portugis diantar oleh
pembesar Pajajaran menuju pelabuhan Kalapa (muara sungai Ciliwung).
Pihak Portugis kemudian mencari tempat yang pas untuk mendirikan benteng
di lokasi itu. setelah menemukan lokasi yang cocok, maka dipancangkan “padrao” (tonggak batu) yang berukir lencana Raja Imanuel (raja Kerajaan Portugis).
Karena
Portugis menganggap Pajajaran adalah kerajaan yang kuat, maka segala
bentuk kerjasama / perjanjian dengan Pajajaran, mereka selalu mengatas
namakan Raja Imanuel dari Portugis.
Perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trengganu (Sultan Demak III).
Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah
dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat
Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi
kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Akhirnya pada tahun 1526, Trengganu segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan / Fatahillah
(Senopati Demak). Pasukan Fatahillah yang merupakan gabungan pasukan
Demak-Cirebon berjumlah 1.967 orang. Sasaran pertama adalah Pelabuhan
Banten, pintu masuk Selat Sunda.
Sebelum kedatangan pasukan gabungan ini, di wilayah Banten terjadi huru-hara yang ditimbulkan oleh tokoh Banten yang bernama Pangeran Hasanudin (putra dari Syarif Hidayatullah) bersama para pengikutnya. Rupanya, saat itu rakyat Banten ingin lepas dari Kerajaan Banten
Pasisir (kerajaan bawahan dari Pajajaran). Datangnya serangan gabungan
Cirebon – Demak ke wilayah Banten ini, menambah semangat rakyat Banten
untuk mendirikan kerajaan baru yang lepas dari pengaruh Pajajaran.
Kedatangan
pasukan Fatahillah menyebabkan pasukan Kerajaan Banten Pasisir
terdesak. Pembesar Kerajaan Banten Pasisir beserta keluarganya akhirnya
mengungsi ke Ibukota Pakuan. Perjuangan terus menerus dari rakyat Banten
yang dipimpin oleh Hasanuddin serta dibantu oleh Demak, berhasil
memerdekakan diri dari Pajajaran, dan mulai saat itu wilayah Banten
menjadi daerah bawahan Demak.
Mulai
tahun 1526, hubungan antara Pajajaran dengan Cirebon (sebagai sekutu
dari Demak) semakin memanas dan diantara keduanya selalu berperang
untuk menguasai wilayah di barat Jawa.
Pada
tahun 1527, Fatahillah bersama sekitar 1.452 orang pasukannya kembali
menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Ratu Kerajaan Tanjung Jaya
(Kinawati) bersama keluarga dan para menteri kerajaan Pajajaran yang
bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun
didatangkan, dan berhasil memukul mundur pasukan Demak-Cirebon.
Tetapi penyerangan berikutnya, kemenangan berada di pihak Demak, keunggulan pasukan Fatahillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Pada tahun 1527, Kerajaan Tanjung Jaya (kerajaan bawahan Pajajaran)
termasuk Pelabuhan Kalapa dan kota Jayakerta akhirnya harus
lepas dari Pajajaran dan menjadi bawahan Demak, pasukan penjaga
pelabuhan tidak mampu membendung serangan dari Demak yang dipimpin oleh
Fatahillah. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Tanjung Jaya kemudian
berganti nama menjadi Jayakarta (diambil nama kota yang sudah ada
sebelumnya) yang diartikan sebagai “kota kemenangan” tepatnya
pada tanggal 22 Juni 1527 (sekarang dijadikan hari jadi kota Jakarta).
Sementara itu Fatahillah sebagai panglima pasukan ditunjuk sebagai
Bupati Kalapa.
Lepasnya Pelabuhan Kalapa ini tak lepas dari keterlambatan bantuan Portugis, karena Francisco de Sa
yang ditugasi membangun benteng sedang diangkat menjadi Gubernur Goa di
India. Baru setelah pengangkatan jabatan selesai, bantuan Portugis dari
Goa memberangkatkan 6 buah kapal. Tetapi, kapal Galiun
yang dipimpin Fransisco De Sa dan berisi peralatan untuk membangun
benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk
Benggala. Akhirnya setelah melewati berbagai rintangan, rombongan
Fransisco De Sa tiba di Malaka dan ekspedsi ke dataran Sunda bertolak
dari Malaka.
Rombongan
Portugis ini mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah
dikuasai Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Fransisco De Sa memancangkan “padrao” pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama untuk sungai Cisadane yaitu "Rio de Sa Jorge". Kemudian kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho)
yang langsung diberangkatkan menuju Pelabuhan Kalapa terlambat
mengetahui bahwa pelabuhan itu telah dikuasai pasukan Fatahillah,
kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan
pasukan Fatahillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak,
kapal Portugis ini mundur dan berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Pada
tahun 1528, Kerajaan Galuh (kerajaan bawahan Pajajaran yang cukup
setia) akhirnya jatuh ke tangan Cirebon. Runtuhnya Galuh, akibat sikap
yang terlalu berani dari raja Galuh (Prabu Jayaningrat). Raja Galuh ini
ingin menunjukan kesetiaan pada Pajajaran dengan cara menyerang Cirebon.
Tetapi usahanya gagal karena Cirebon saat itu telah menjadi Kesultanan
yang kuat atas bantuan dari Demak. Maka mulai tahun itu, Pajajaran harus
merelakan lepasnya Galuh ke tangan Cirebon. Di tahun itu juga, Kerajaan
Talaga (bawahan Kerajaan Pajajaran lainnya) sama-sama mengalami
penyerangan dari Cirebon. Akibat dari serangan ini maka Kerajaan Talaga
menjadi bawahan Kesultanan Cirebon lepas dari Pajajaran.
Pada
tahun 1530, wilayah Sumedang pun lepas setelah Ratu Pucuk Umum (Putri
Mahkota Kerajaan Geger Hanjuang) diperistri oleh Pangeran Santri yang
masih keturunan dari Cirebon, sehingga Kerajaan Geger Hanjuang berganti
nama menjadi Kerajaan Sumedanglarang dan dibawah pengaruh kekuasaan
Cirebon. (lihat Kerajaan Sumedanglarang).
Setelah
selalu berperang dengan Cirebon kurang lebih selama 5 tahun, maka pada
tanggal 29 Juni 1531 tercapai perdamaian antara Prabu Surawisesa dan Syarif Hidayatullah
(Sultan Cirebon pertama yang juga merupakan anak Nyai Larasantang).
Kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui
kedaulatan masing-masing. Dengan diakuinya wilayah Pajajaran yang telah
direbut oleh Cirebon, berarti saat itu wilayah kekuasaan Pajajaran
semakin menyempit dan otomatis telah kehilangan dua pelabuhan utamanya
yaitu Kalapa (dikuasai Banten dan Demak) dan Muara Jati (dikuasai
Cirebon).
Perjanjian
damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk
mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan
kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itu pun
tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan
lautnya. Dengan dukungan sekitar 1.000 orang pasukan berani mati yang
setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti
kerajaannya.
Untuk
menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, mungkin juga
sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Pajajaran yang diamanatkan kepadanya, pada tanggal 14
September 1533 (tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat), ia membuat “sakakala” (tanda peringatan buat ayahnya).
Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh ayahnya. Itulah Prasasti Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan
tempat tanda kekuasaan Jayadewata / Sri Baduga / Prabu Siliwangi yang
berupa Lingga Batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga
kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin
agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui
(dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah.
Karena itulah Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri
Linga Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia
hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala (ukiran jejak tangan), yang lainnya berisi Padatala (ukiran jejak kaki). Pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara “srada”
yaitu "penyempurnaan sukma" yang biasanya dilakukan setelah 12 tahun
seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal
dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Isi dari Prasasti Batutulis itu berbunyi (dibaca dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita) :
===============================================
00 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
diwastu
diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya
dingaran sri
baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri
sang ratu de-
wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak anak rahyang
dewa nis-
kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang
niskala wastu
ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusa larang, ya siya
nu nyiyan sakaka-
la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sang-
hyang talaga
rena mahawijaya, ya siya pun 00 i saka panca pan-
dawa (m)ban bumi 00
===============================================
“semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu, suwargi. Ia dinobatkan
dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar
Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Daia anak
Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu,
membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang
membuat semua itu). (dibuat) dalam (tahun) Saka 1455.”
Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat
prasasti batutulis untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren.
3. PRABU RATU DEWATA (1535 – 1543)
Berbeda
dengan ayahnya (Prabu Surawisesa) yang dikenal sebagai panglima
perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata terkenal sangat
alim dan taat kepada agama tetapi kurang begitu mengenal seluk-beluk
politik. Beliau melakukan upacara “sunatan” (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa “Pwah-susu” (hanya makan buah-buahan dan minum susu).
Meskipun
secara resmi perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon masih berlaku.
Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai seorang raja ia harus tetap
bersiaga.
Hasanudin
dari Banten secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas
resmi yang mampu bergerak cepat untuk menyerang Pajajaran. Maka
terjadilah serangan mendadak ke Ibukota Pakuan, dan pihak Pajajaran
tidak menyadari bahwa musuh yang menyerang itu adalah Banten. Ratu
Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang,
para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh.
Disamping itu, ketangguhan
benteng
Pakuan peninggalan Rakeyang Banga dan Jayadewata / Prabu Siliwangi ini
menyebabkan serangan kilat dari Banten tidak mampu menembus gerbang
Pakuan. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi
dua orang senopati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.
Gagal
merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke
utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan
Jayagiri yang dalam jaman Jayadewata / Prabu Siliwangi merupakan desa Kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap
Prabu Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan
jaman itu tidak tepat karena seorang raja harus "memerintah dengan
baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan
setelah turun tahta dan menempuh kehidupan (Manarajasuniya)
seperti yang telah dilakukan oleh Prabu Anggalarang / Wastu Kancana. Di
zaman kekuasaan Prabu Ratu Dewata disebut juga sebagai jaman sulit (precinta) bagi Kerajaan Pajajaran.
Prabu Ratu Dewata wafat pada tahun 1543 dan di pusarakan di Sawah Tampian Dalem.
4. SANG RATU SAKSI SANG MANGABATAN (1543 – 1551)
Beliau
merupakan anak dari Prabu Ratu Dewata. Untuk mengatasi keadaan yang
ditinggalkan ayahnya yang bertindak serba alim, sebaliknya ia bersikap
keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Banyak rakyat dihukum mati tanpa
diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk
kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali, ia juga sering menghina
para pendeta.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh Rahiyang Dewa Niskala, yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" atau wanita pengungsi yang sudah bertunangan. Masih ditambah lagi
dengan
berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya.
Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena
waktu itu (tahun 1546), sebagian besar pasukan Hasanuddin (dari Banten)
dan dibantu Cirebon sedang membantu Demak menyerbu Pasuruan dan
Panarukan.
Setelah meninggal, Sang Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. PRABU RATU CARITA / NILAKENDRA (1551 – 1567)
Nilakendra
naik tahta pada saat situasi kenegaraan tidak menentu dan
frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat di Pajajaran. Di
masa kekuasaannya, kelaparan telah berjangkit ke seluruh negeri.
Frustasi
di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam
menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah
mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan TANTRA.
Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan
sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan
di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu,
digunakan meinuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar (tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat sesuai dengan kekayaannya). Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang (makan sekedar pelepas lapar, minum tuak sekedar pelepas dahaga) telah ditinggalkan. Tiba saatnya kaliyuga (zaman penuh kejahatan dan kemaksiatan) yang kemudian diikuti oleh pralaya (kehancuran).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (dibalay) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) yang megah dengan temboknya dihias sebanyak 17 baris berupa tulisan bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" (ngibuda Sanghiyang Panji).
Bendera inilah yang diandalkannya untuk menolak musuh. Meskipun bendera
ini tak ada gunanya dalam menghadapi Laskar Banten karena mereka tidak
takut karenanya.
Laskar Banten pimpinan sang putra mahkota yaitu Panembahan Yusuf berhasil menghancurkan Pajajaran dengan mudah.
Akhirnya
nasib Nilakendra dikisahkan kalah perang, dan bersama pengikutnya pergi
dari keraton. Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh
raja dan dibiarkan nasibnya berada di tangan penduduk dan para prajurit
yang ditinggalkan, sedangkan Nilakendra tidak diketahui wafat dan di
pusarakannya.
6. PRABU SEDA / PRABU RAGAMULYA (1567 – 1579)
(NU SIYA MULYA / SURYAKANCANA)
Raja
Pajajaran yang terakhir adalah Prabu Seda. Raja ini tidak berkedudukan
di Pakuan, beliau telah meninggalkan Pakuan demi menghindari perang
terbuka yang lebih besar dengan Banten, dan lebih memilih diam di salah
satu Kerajaan daerah yang terletak di Kadu Hejo, Kecamatan Menes sekitar
lereng Gunung Pulasari, Pandeglang. Wilayah ini merupakan bekas kota
Rajatapura (ibukota Kerajaan Salakanagara di tahun 130).
Di
lokasi baru itu, sang raja membuka tempat pemukiman baru di Cisolok dan
Bayah. Entah apa yang dijadikan dasar pemikiran Prabu Seda memilih
wilayah Pandeglang sebagai ibukota barunya. Mengingat Pandeglang
berdampingan dengan wilayah Kesultanan Banten.
Beliau berkuasa tanpa mahkota karena sebelum meninggalkan Pakuan, Prabu Seda sempat mengutus 4 orang Kandaga Lante (panglima) untuk menyerahkan barang-barang pusaka kerajaan Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun yang memerintah di Kerajaan Sumedanglarang. Kandaga Lante
berangkat meninggalkan keraton dengan diiringi sebagian rakyat
Pajajaran yang akhirnya memutuskan mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun.
Ada pun barang-barang pusaka amanat Raja Pajajaran terakhir tersebut
berupa Mahkota Binokasih Sang Hyang Pake Siger terbuat dari emas dan perlengkapannya (sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang).
Pada
masa kekuasaan Prabu Seda inilah Kerajaan Pajajaran sebagai penerus
kerajaan Sunda, mengalami keruntuhan akibat serangan Panembahan Yusuf
dari Kesultanan Banten yang saat itu gencar melakukan syiar Islam,
sedangkan seperti yang kita ketahui Kerajaan Pajajaran adalah menganut
agama nenek moyang.
Sebenarnya secara “de jure”,
kekuasaan Pajajaran telah habis di masa kekuasaan Nilakendra.
Akan tetapi, Pasukan Banten baru resmi “memadamkannya” setelah mereka
berhasil menghancurkan Ibukota Pakuan.
Benteng
kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi penghianatan dari
Komandan pengawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak
memperoleh kenaikan pangkat. Tengah malam, pasukan khusus Banten
menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan
oleh penghianat itu. Ketangguhan benteng Pakuan yang dibuat oleh
Rakeyan Banga lalu kemudian diperkokoh oleh Prabu Jayadewata / Prabu
Siliwangi ternyata masih terbukti. Meskipun Pakuan telah lama
ditinggalkan oleh rajanya, tetapi pasukan Banten harus berupaya keras
untuk menembusnya, maka “cara halus” dianggap sebagai cara yang paling
tepat untuk membobol benteng itu.
Kekalahan Pajajaran, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana
(tempat duduk saat penobatan tahta) dari Pakuan ke Keraton Surasowan di
Banten oleh pasukan Panembahan Yusuf. Di atas Palangka itulah biasanya
raja Pajajaran diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan
Kerajaan (tidak di dalam istana). Sesuai dengan tradisi, tahta itu
terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini
oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten
karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan
raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, maka Maulana Yusuf /
Panembahan Yusuf dianggap sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang syah
karena buyut perempuannya (Larasantang) adalah puteri dari Prabu
Jayadewata.
Ibukota
Pajajaran yang bernama Pakuan akhirnya tersisih dari percanturan hidup.
Pakuan sebagai pusat pemerintahan akhirnya berakhir setelah
dibumihanguskan pasukan Banten, seluruh ibukota kerajaan dihancurkan dan
penduduknya panik melarikan diri ke setiap penjuru. Sebagian besar,
sembunyi di hutan-hutan lebat, serta gunung-gunung yang belum dijamah
manusia.
Setelah
berhasil menghancurkan Pakuan, pasukan Banten kemudian menuju Pulasari
untuk menghancurkan ibukota baru itu. Prabu Seda dan pengikutnya yang
setia mengumpulkan segenap kekuatannya melawan pasukan Banten. Tetapi,
akhirnya sang raja gugur bersama seluruh pengikutnya tanpa sisa.
Pajajaran “lenyap” pada tanggal 8 Mei 1579.
===============================================
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun,
ngan engke bakal ngadeg deui
“Pajajaran tidak sirna, tapi hanya menghilang,
dan suatu saat akan berdiri kembali”.
===============================================
Langganan:
Postingan (Atom)